• RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

MATERAI IKATAN JANJI

Posted by GBI Kudus On Selasa, Oktober 12, 2010

Allah yang kita sembah adalah Allah pembuat ikatan janji. Dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi Ia melakukan ikatan janji dengan hamba-hamba Tuhan pengubah sejarah; dan Ia ingin terus melanjutkan ikatan janji yang pernah Ia buat dengan para pahlawan Iman dimasa lalu dengan kita sebagai orang-orang percaya yang hidup pada masa kini. Ingatlah selalu kebenaran ini: Tuhan tidak memanggil kita untuk memulai pejalanan rohani kita sendiri; Ia memanggil kita untuk melanjutkan perjalanan Iman yang sudah dimulai oleh para pendahulu (Bapa rohani) kita.
Bahkan saat Allah memanggil Abraham, sesungguhnya iapun tidak sedang memulai perjalanan rohaninya sendiri. Ia sedang melanjutkan perjalanan rohani yang telah dimulai oleh bapanya, Terah (Kejadian. 11:27 – 12:3)
Allah kita adalah Allah pembuat ikatan janji yang ingin terus melanjutkan ikatan janji yang ada dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Setelah Ia melakukan ikatan janji dengan Abraham, pada generasi selanjutnya, Ia pun ingin melanjutkan ikatan janji yang sama dengan Ishak lalu dengan Yakub dan bangsa Israel, dengan Daud dan garis keturunannya, dengan Yesus dan semua orang percaya lainnya.

Setiap ikatan janji selalu dimeteraikan oleh suatu tanda

Saat Allah melakukan ikatan janji dengan Abraham, ia memeteraikan ikatan janji tersebut dengan tanda sunat (Kejadian 17). Sejak saat itu, setiap orang yang ingin terhisap dalam ikatan janji yang sama seperti yang Abraham miliki dengan Allah harus memiliki tanda sunat yang sama. Dalam hal ini, Allah bersikap keras dan tegas. Ia bahkan pernah berniat membunuh Musa yang Ia tugaskan untuk membebaskan orang Israel hanya gara-gara salah satu anaknya belum sunat (Keluaran 4:24-26). Ia juga memerintahkan Yosua untuk menyunat seluruh Israel sebelum membawa mereka menyeberangi Yordan dan merebut Kanaan (Yosua 5). Tanpa tanda sunat, Tuhan tidak menganggap kita terhisap dalam ikatan janji yang pernah Ia buat dengan Bapa rohani kita. Akibatnya, kitapun tidak berhak untuk menerima ‘warisan rohani’ yang Bapa rohani kita miliki.

Ketaatan mutlak atas pendisiplinan adalah wujud dari sunat yang kita alami

Dalam Perjanjian Baru, Paulus menerima sebuah pewahyuan tentang sunat: Sunat yang sejati bukan lagi yang jasmaniah tapi yang rohaniah (Galatia 5:6, 6:15). Hal ini diwujudkan dalam bentuk nyata berupa pendisiplinan yang dilakukan oleh seorang Bapa rohani kepada anak-anak rohaninya. Pendisiplinan memang sangat menyakitkan karena selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat pribadi. Disinilah seringkali terjadi persoalan. Ada banyak orang yang saat mengalami pendisiplinan selalu bereaksi secara negatif padahal tujuan dari pendisiplinan tersebut adalah membangun gaya hidup Ilahi seperti yang dimiliki oleh sang Bapa rohani sehingga anak-anak rohani yang ada akan memiliki ikatan janji yang sama dengan Allah dalam kapasitas dan dimensi yang sama seperti yang sudah dimiliki oleh Bapa rohani (II Timotius 1-3).
Saat Ishak belajar untuk taat sepenuhnya terhadap apapun yang akan Abraham lakukan – bahkan saat ia akan disembelih dan dijadikan korban bakaran (Kejadian 22), ia sedang mengembangkan suatu gaya hidup yang menyelamatkan dirinya saat terjadi bencana kelaparan (Kejadian 26). Bahkan di tengah-tengah segala kekacauan yang terjadi dijamannya, Allah dengan setia menggenapi janjiNya terhadap Ishak karena Ishak telah terhisap dalam ikatan janji yang pernah Ia adakan dengan Abraham (Kejadian 26:2-5).

1. Singkirkan segala trauma dan konflik batin yang selama ini kita miliki
Tidak bisa dipungkiri, pelajaran tentang Bapa Rohani memang telah ‘sedemikian mengembang’ sehingga justru mengakibatkan terjadinya kasus-kasus penyalahgunaan otoritas. Ada banyak orang yang hidupnya menjadi terluka dan hancur gara-gara ia ‘menaruh hidupnya’ dalam tangan seorang pemimpin yang sembrono dan manusiawi. Tapi lepas dari berbagai fakta buruk yang sedang terjadi, Tuhan sedang membangkitkan Bapa-bapa rohani yang hidup dalam Disteny dan gaya hidup Ilahi yang jelas-jelas menunjukkan kualitas hubungan yang ia miliki dengan Bapa Sorgawi. Karenanya, meski kita pernah mengalami pengalaman buruk dengan orang-orang yang mengaku diri sebagai Bapa rohani, bukan berarti kita harus menutup diri atas kebenaran ini. Yang perlu kita lakukan adalah belajar mengenali mana Bapa rohani yang Tuhan akan taruh untuk membentuk ulang hidup kita menjadi seperti yang Ia maui.

2. Bangun hubungan yang sehat dengan sang Bapa rohani
Sesungguhnya, untuk menerima seseorang menjadi Bapa rohani, kita membutuhkan waktu untuk menjajakinya terlebih dahulu. Hal ini dibutuhkan karena dengan kita menjadikan seseorang sebagai Bapa rohani kita, berarti kita harus rela kehilangan hidup kita sendiri (DNA rohani yang selama ini kita miliki) demi dapat menghidupi kehidupan yang sama (mewarisi DNA rohani yang sama) seperti yang dimiliki oleh sang Bapa rohani. Dengan demikian kita dapat mewarisi panggilan, anugerah dan dimensi rohani yang sama seperti yang telah dimiliki oleh sang Bapa rohani.
Secara umum, level hubungan yang harus dilalui oleh seseorang sebelum memutuskan untuk menjadi seorang anak rohani adalah :
1. Level pemuridan
Saat kita dipertemukan Tuhan dengan seseorang yang Ia bangkitkan sebagai seorang Bapa rohani bagi tubuh Kristus, kita dapat merasakan adanya daya tarik Ilahi atas berbagai pengajaran dan prinsip-prinsip Firman yang ia bagikan. Kita mengikuti dan berusaha menghidupi setiap pengajaran dan prinsip Firman yang kita terima dari dia.
2. Level mentoring
Bersamaan dengan berjalannya waktu, kita dapat merasakan adanya kerinduan untuk memiliki dimensi pelayanan yang sama seperti yang sudah dimiliki oleh sang Bapa rohani. Kita mulai membangun hubungan yang lebih dekat dengan sang Bapa rohani; kitapun mulai membuka diri untuk menerima arahan, tuntunan bahkan koreksian berkaitan dengan segala aspek pelayanan dan kehidupan rohani. Tapi keterbukaan yang kita miliki masih hanya berkisar dalam aspek-aspek pelayanan dan kehidupan rohani belaka.
3. Level pembapaan
Pada level ini, kita sudah betul-betul mempercayai dan mengarahkan seluruh hidup kita ke dalam tangan sang Bapa rohani. Ia memiliki akses seluas-luasnya atas hidup kita sebagai anak rohaninya. Kita telah membuka diri sepenuhnya untuk sang Bapa rohani dapat melakukan apapun juga atas hidup kita demi rencana, impian dan berbagai kerinduan yang Tuhan telah taruh dalam hidupnya dapat terealisir melalui hidup kita – sama seperti yang terjadi atas Ishak (Kejadian 22).
Keterbukaan yang kita miliki untuk sang Bapa rohani dapat melakukan proses perombakan dalam hidup kita demi munculnya gaya hidup Ilahi yang memampukan kita untuk menyelesaikan kehendak Tuhan yang telah Ia taruh dalam hidup merekalah yang menjadi tanda meterai bahwa kita memang memiliki ikatan janji dengan Allah yang sama seperti yang disembah oleh Bapa rohani kita. Melalui ikatan janji tersebut, kita akan melihat bagaimana Allah yang kita sembah dalam nama Yesus akan terus menyatakan kesetiaanNya dalam hidup kita sebagaimana Ia telah menyatakan kesetiaanNya disepanjang hidup Bapa rohani kita.
Selama kita terus membuka diri untuk sang Bapa rohani memberikan input-input Ilahi dalam hidup kita, selama itu pula tanda meterai ikatan janji tetap ada atas hidup kita. Begitu kita menarik diri dari Bapa rohani kita, meski kita telah memiliki semua yang menjadi warisan kita, tapi hidup kita akan menjadi sama seperti anak yang bungsu yang lari dari rumah bapanya (Lukas 15:11-32). Cepat atau lambat hidup kitapun akan berakhir di kandang babi…. Hanya pertobatan mutlaklah yang akan dapat memulihkan semua yang pernah kita miliki.